Latest News

Tuesday, August 18, 2009

Dunia Pendidikan antara Merdeka atau Mati


AGUSTUS ini bulan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi kenyataannya di bulan Juli lalu, kita mesti terharu melihat berbagai demo guru dan mendengar jeritan orang tua murid yang tak mampu bayar dana sumbangan pendidikan (DSP). Apakah mereka sudah memperoleh kemerdekaan ? Atau mereka masih berjuang merebut kemerdekaan ?


AGUSTUS ini bulan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi kenyataannya di bulan Juli lalu, kita mesti terharu melihat berbagai demo guru dan mendengar jeritan orang tua murid yang tak mampu bayar dana sumbangan pendidikan (DSP). Apakah mereka sudah memperoleh kemerdekaan ? Atau mereka masih berjuang merebut kemerdekaan ?

Kemerdekaan merupakan hak setiap bangsa untuk dapat diperjuangkan di muka bumi ini. Begitu pula halnya kemerdekaan di dunia pendidikan kita, masih harus terus diperjuangkan. Saya benar-benar terharu, yang namanya wajib belajar pendidikan dasar 12 tahun (Wajar Dikdasmen) masih dicemari oleh berbagai pungutan yang sangat membebani para orang tua yang lagi kesusahan. Abang becak, pegawai pabrik yang kena PHK; PNS jujur semuanya menjerit ketika mendaftarkan anak tercintanya ke SD, SMP atau SMA Negeri diharuskan menyerahkan uang masuk yang sudah dipatok oleh pihak sekolah dari ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Begitu pula halnya UU guru dan dosen yang sudah capai-capai dilahirkan oleh para anggota DPR yang terhormat kenyataannya tak ada bedanya dengan UU pokok agraria. Memang, apa hendak dikata kita ini sudah terkenal pandai membuat konsep tapi belum pandai menerapkannya.

Kemerdekaan di dunia pendidikan kita tampaknya masih berupa angan-angan. Sekali lagi saya sangat terharu. Ketika pada bulan Juli lalu, banyak orang tua menjerit karena anak tercintanya masuk SMP, SMA bahkan perguruan tinggi (PT) mesti pakai duit dengan jumlah semakin melangit. Jadinya orang berada menderita, orang tak punya sengsara. Ini lah salah satu tanda dunia pendidikan kita belum merdeka. Kemerdekaan ternyata belum juga dirasakan oleh kebanyakan guru dan dosen. Guru sebenarnya lebih mending, PP nya lagi dibikin; tetapi bagaimana dengan PP dosen ?. Tampaknya dosen mah jalan sendiri saja lah. Oleh karenanya tak usah lah tanya-tanya. Mengapa kita kalah maju sama Malaysia ?. Mengapa Vietnam masuk delapan besar, sedangkan PSSI tidak ?. Kita tahu sendiri lah jawabnya. Dunia pendidikan kita belum merdeka.

Ironis memang. Di satu pihak orang kecil begitu bersemangatnya ingin menyekolahkan anak tercintanya guna merubah nasib keluarga, namun di pihak lain biaya sekolah yang membumbung tinggi menghadangnya bagai barrier yang mesti dilewati. Akhirnya di musim PSB/PMB, pegadaian bahkan rentenir kebanjiran konsumen.

Yang tidak bisa menggadaikan barang dan tidak mau pergi ke rentenir, terpaksa dengan deraian air mata melepas anaknya ke perempatan jalan. Jadi pengamen dan atau pedagang asongan. Memang, kemiskinan amat dekat dengan kebodohan.

Dunia pendidikan kita ternyata baru bisa menciptakan kesenjangan. Senjang kaya � miskin, karena memang dunia pendidikan kita tren nya seperti untuk orang kaya saja. Saya kira cukup sulit bagi orang miskin untuk bisa memasukkan anaknya ke SMP Negeri, bila diharuskan bayar ratusan ribu rupiah.

Dunia pendidikan kita belum merdeka sangat dirasakan oleh para tukang becak, ketika diharuskan membayar biaya sekolah anaknya yang disamakan dengan anak para pengusaha. Penyamarataan bayaran biaya sekolah rasanya kurang adil, sama halnya dengan pembedaan layanan guru terhadap anak orang kaya dan anak orang miskin. Dalam hal ini lah pemerintah mesti turun tangan, jangan hanya pada saat kampanye saja.

Terus terang kita prihatin melihat perpustakaan yang tak menarik untuk dikunjungi, melihat ruang kelas bagaikan kandang ayam; melihat pungutan pada siswa baru dengan dalih yang terasa di buat-buat.

Apa lagi dunia pendidikan tinggi kita sekarang ini cenderung didominasi oleh orang yang berduit saja. Hitungannya sudah bukan jutaan lagi tapi puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Bayangkan saja untuk bisa kuliah melalui jalur apa lah namanya di Fakultas Kedokteran Unsoed, orang tua harus mampu menyediakan uang 100 jutaan rupiah. Sekarang ini yang boleh dikatakan paling murah hanya ke Fakultas Pertanian, karena memang mencangkul sih pekerjaan yang sedang terpinggirkan.

Ironis sebenarnya orang-orang kampus sendiri yang hidupnya hanya untuk ilmu, kesejahteraannya boleh dibilang kurang menggembirakan bila dibandingkan dengan orang kampus yang kerjanya seperti burung alap-alap.

Kemerdekaan pendidikan di negeri ini boleh dikatakan semakin luntur. Anggaran BOS menggelontor, tapi orang tua murid selalu dihantui oleh keharusan beli buku. Buku gratis pemberian pemerintah, tampaknya sudah tinggal kenangan. Dulu waktu zaman normal kita itu masih bisa baca buku milik negara. Sekarang mah baca buku pinjam dari kakak kelas pun sering terganggu oleh yang namanya pembaruan kurikulum.

Saya kagum pada Bupati Kabupaten Muba Provinsi Sumsel yang telah mampu melaksanakan Wajar 15 tahun secara gratis alias tanpa pungutan (Republika, 6/7-2007). Saya hormat walaupun belum puas pada Bupati Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat yang telah mampu menolak permintaan izin penjual buku pelajaran (�PR�

, 3/7-2007). Saya gembira walaupun belum nyata pada Wali Kota Bandung yang mau menaikkan gaji guru (�PR�, 25/7-2007). Namun saya masih prihatin melihat gonta-ganti kurikulum lalu gonta-ganti buku pelajaran. Saya prihatin melihat bandelnya UN lalu bimbingan test semakin marak. Dikemanakan wibawa orang tua yang tidak mampu menyayangi anaknya lewat bimbel ?. Apa khabar para pengajar di sekolah, yang kemerdekaannya terus diganggu ??. Guru yang dibanggakan tergerus oleh bimbel yang sudah jadi kebanggaan.

Seiring dengan turunnya dana BOS sudah saatnya manajemen pendidikan ditegakkan. Sekolah yang masih kekurangan dana jangan minta ke murid, minta lah ke pengusaha yang berkelas konglomerat yang suka menabung di Singapura. Hindarkan beban anak-anak kita dari soal pungutan uang, agar mereka dapat fokus pada prestasi. Saya bangga melihat pelajar kita yang mampu menyabet emas di Olimpiade Fisika. Sebaliknya saya prihatin ketika melihat pelajar kita pakai anting mungkin sedang over acting saking pusing ngemutan uang pungutan. Namun saya tetap kagum, ketika melihat isi tas pelajar kita yang berat-berat itu ternyata masih dijejali oleh buku-buku agama pegangan kita.

Begitu pula seiring dengan terealisasinya 20 persen anggaran pendidikan dalam APBN, sudah saatnya UU guru dan dosen diimplementasikan. Nasibnya jangan seperti UU pokok agraria sebatas jadi pajangan saja. Mohon maaf, PP untuk Dosen sepertinya tak teragenda dalam bahasan di DPR.

Belum merdekanya dunia pendidikan kita ini, tampaknya memerlukan campur tangan Pak SBY. Pak SBY, seorang presiden yang begitu telaten dalam memberikan penghargaan. Hanya saja sayang, penghargaan kepada dosen belum saya lihat beliau berikan. Kata salah seorang anggota DPR mah, dosen itu kulturnya lain. Saya tak tahu, apa yang dimaksud kultur lain itu. Apakah dosen itu sama dengan malaikat yang tidak punya nafsu keduniaan ?. Wallahualam. Yang jelas dosen itu sekali saja berbuat khilaf, langsung masuk penjara.

Ya Allah, kata Pak Rokhmin Dahuri. Di mana, keadilan di negeri ini ?. Saya yang handeueul teu kacepretan akhirnya hanya bisa berucap, Ya Allah, semoga kebenaran di negeri ini ditampakkan. Yang benar itu benar, yang salah itu salah. Dirgahayu HUT RI. Merdeka! (diambil dari Harian Pikiran Rakyat : Dr. Dedy Sufyadi)



Sunday, August 16, 2009

MAKNA KEMERDEKAAN DALAM PENDIDIKAN



Baru saja kita memperingati 63 tahun kemerdekaan Indonesia. Momentum itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya guna merefleksikan apa saja yang sudah dilakukan untuk bangsa, sembari memikirkan solusi untuk keluar dari jeratan krisis.Tidak kalah pentingnya, perlu dilakukan penyegaran sekaligus pembaruan model peringatan kemerdekaan, dari sekadar seremonial tanpa makna menjadi spirit yang membangun semangat nasionalisme dan kebangsaan.
Pembaruan dan penyegaran itu, salah satunya bisa dilakukan dengan membenahi sistem pendidikan bangsa. Mengapa demikian? Karena sistem pendidikan saat ini, telah melenceng jauh dari cita-cita para pendirinya (founding father), khususnya pada masa-masa prakemerdekaan.


Sejarah membuktikan bahwa pendidikan memberi kontribusi yang besar dalam membidani kelahiran kemerdekaan. Melalui pendidikan, tokoh seperti R.A. Kartini, R. Dewi Sartika, K.H. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, dan Teuku Moh. Syafei, menanamkan jiwa dan semangat nasionalisme kepada generasi muda. Pendek kata, para tokoh itu membangun visi dan misi pendidikan dalam bingkai kebangunan Indonesia untuk meraih kemerdekaan dan kebebasan.
Ki Hajar Dewantara, misalnya, mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, dengan tujuan ingin menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini memiliki martabat dan harapan untuk menjadi manusia merdeka. Ki Hajar meyakini, penyadaran melalui lembaga pendidikan adalah usaha yang manjur. Hasilnya, kesadaran sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeinginan untuk merdeka pun tumbuh.
Contoh lain, dengan didirikannya organisasi Budi Utomo (1908), Perhimpunan Indonesia (1926), dan dicetuskannya Sumpah Pemuda (1928). Pada masa perang kemerdekaan dan revolusi untuk mempertahankannya, generasi muda yang terpelajar itu tidak sekadar mampu merancang organisasi atau menjadi aktivis, tetapi mereka juga memiliki keberanian dan strategi untuk membangun kekuatan bersenjata yang dikenal dengan sebutan Tentara Pelajar (TP).
Pendidikan dikebiri
Sayangnya, model pendidikan yang menumbuhkan jiwa kebangsaan dan perasaan merdeka itu, dicerabut dan dikebiri dari sistem pendidikan saat ini. Alih-alih, bukannya menjadi sarana memerdekakan peserta didik, tetapi justru membelenggu, memenjarakan, dan menindas. Itu dapat kita lihat dengan adanya kebijakan sertifikasi guru, kebijakan membalik rasio SMK dan SMA, penyamaan ujian akhir nasional (UAN) SMK dengan SMA, dan sebagainya.
Belum lagi, biaya pendidikan yang terasa kian mahal dan hampir tak terjangkau rakyat miskin. Pada jenjang pendidikan tinggi misalnya, sejumlah perguruan tinggi negeri berubah menjadi badan hukum milik negara. Perubahan ini mendorong lembaga-lembaga pendidikan, yang seharusnya melahirkan manusia-manusia terpelajar, justru terbelenggu dengan upaya mencari uang sekaligus menjauhkan diri dari masyarakat yang seharusnya dilayani. Maka, impian untuk mendapatkan pendidikan murah, baik, dan berkualitas tidak akan pernah terwujud.
Pada aspek filosofi, pendidikan yang mestinya dimaknai secara luas, ternyata hanya dipahami sebagai proses formal, sekadar proses alih pengetahuan. Bahkan, pendidikan tidak mampu lagi menjadi sarana liberasi, yakni sebagai sebuah proses kerja kreatif dan responsif untuk memerdekakan dan memberdayakan pelajar. Wajar jika spirit kemerdekaan, kebebasan, dan pencerahan sulit ditemukan dalam sistem dan praktik pendidikan tersebut. Tidak ada ruang dan waktu yang memadai bagi terjadinya liberasi yang mendorong sikap mental para pelajar untuk menjadi manusia merdeka.
Hasil lulusan atau output pendidikan yang jauh dari spirit kemerdekaan dan kebangsaan, kata Amien Rais (2008), hanya menghasilkan pemimpin, pengusaha, parlemen (anggota DPR), jaksa dan sebagainya, yang bermental inlander, penjilat, dan rela dijadikan budak korporasi-korporasi besar milik Amerika dan sekutu-sekutunya. Sebagai contoh, ketika kekayaan alam berupa minyak, gas, batu bara dan emas, dijarah beberapa perusahaan Amerika, para pemimpin berjiwa inlander itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Spirit kemerdekaan
Tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini, selain mengambil semangat dan spirit kemerdekaan, untuk merancang pendidikan bangsa berjiwa merdeka. Spirit kemerdekaan dalam pendidikan ini bisa diwujudkan paling tidak dalam dua hal. Pertama, dalam sistem pendidikan yang diwujudkan dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan, dan egalitarianisme, dalam menyusun visi dan tujuan pendidikan, desain konsep pembelajaran, metode pengajaran, kurikulum, biaya sekolah, peningkatan karier dan gaji guru.
Kedua, dalam praktik pendidikan dengan mengimplementasikan spirit kemerdekaan dalam seluruh proses pembelajaran; interaksi antara siswa dan guru, sesama guru, dan antarsiswa. Misalnya melalui pengajaran yang kontekstual, dialog, dan presentasi, pelajaran yang interaktif dan partisipatoris, penilaian yang transparan, dan sebagainya.
Pendidikan juga perlu menanamkan sikap kritis pada anak didiknya. Melalui model pendidikan seperti itu, terlahir manusia-manusia kritis yang mampu melihat aneka tantangan dari zamannya, berani membicarakan berbagai masalah lingkungan, dan ikut menangani lingkungannya.
Spirit kemerdekaan dan pendidikan kritis, kata Asep P.B. (2006), akan menumbuhkan kuriositas intelektual, kematangan emosional, dan kejernihan spiritual anak didik. Mereka akan mampu melakukan transformasi diri menjadi orang-orang yang terbebaskan, lantaran institusi pendidikan dan lingkungan memberikan ruang dan iklim yang kondusif.
Selain itu, eksistensi pendidikan yang memiliki spirit kemerdekaan akan diperhitungkan dalam konteks demokrasi. Artinya, pendidikan dipercaya punya pengaruh yang positif bagi demokratisasi, sekaligus menghasilkan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Dalam perspektif ini, pendidikan bisa dilihat sebagai sebuah institusi untuk menginternalisasikan dan menyosialisasikan kemerdekaan, prinsip kemandirian, dan nilai hak asasi manusia harus bisa dijalankan. Semoga.[]
Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Pikiran Rakyat, Edisi 18 Agustus 2008



Friday, August 14, 2009

MENGINTIP SISTIM PENDIDIKAN MALASYIA


Malaysia, Singapura dan Cina ternyata masih menerapkan metode Standarisasi Test atau lebih kita kenal dengan Ujian Akhir Negeri (UAN) disekolah-sekolah kita. Tujuan UAN sebenarnya hanya ingin meningkatkan 'nilai' kecerdasan kepada siswa-siswanya, namun karena UAN jugalah, jumlah siswa yang putus sekolah masih banyak. Tapi Indonesia memiliki Paket A, B dan C sebagai alternatif setelah putus sekolah, sedangkan ketiga negara asia tersebut lebih berkonsentrasi pada Homeschooling bagi yang masih berusia remaja dan Nightschooling bagi dewasa.

Malaysia, Singapura dan Cina ternyata masih menerapkan metode Standarisasi Test atau lebih kita kenal dengan Ujian Akhir Negeri (UAN) disekolah-sekolah kita. Tujuan UAN sebenarnya hanya ingin meningkatkan 'nilai' kecerdasan kepada siswa-siswanya, namun karena UAN jugalah, jumlah siswa yang putus sekolah masih banyak. Tapi Indonesia memiliki Paket A, B dan C sebagai alternatif setelah putus sekolah, sedangkan ketiga negara asia tersebut lebih berkonsentrasi pada Homeschooling bagi yang masih berusia remaja dan Nightschooling bagi dewasa.

Kita mulai dengan Malaysia, dari hasil diskusi saya dengan beberapa pengguna internet dari Malaysia di forum diskusi online milik mereka, ada beberapa informasi yang bisa saya bandingkan dengan sistem pendidikan kita. Contohnya, dalam mata pelajaran Bahasa, di Negara kita hanya Bahasa Indonesia saja yang terus-menerus ditekankan dan diajarkan kepada siswa kita. Memang dibeberapa sekolah swasta, selain Bahasa Indonesia, Bahasa Arab juga ikut dimasukkan dalam kurikulum terutama sekolah-sekolah Islam dan Pesantren. Di sekolah Negeri, Pelajaran Bahasa Asing seperti bahasa inggris hanya menjadi prioritas ketika berada ditingkat Menengah Pertama dan seterusnya, sedangkan tingkat Sekolah Dasar belum. Malaysia menerapkan standar pelajaran Bahasa Inggris mulai dikenalkan kepada siswa dari tingkat Pre-School atau dalam sistem kita disebut Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Walau ada beberapa PAUD yang kini ikut mengajarkan Bahasa Inggris tetapi ketika beranjak ke Sekolah Dasar (SD) mereka tidak diwajibkan mempelajari Bahasa Inggris karena tidak termasuk Kurikulum SD. Setelah naik ketingkat selanjutnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kurikulum Bahasa Inggris lalu disertakan. Boleh dibilang, ketika SD siswa akan melupakan 'ilmu' Bahasa Inggris mereka. Sedangkan Malaysia, kecakapan Bahasa Asing mereka justru ditingkatkan jumlahnya ketika tingkatan sekolah mereka juga bertambah. Pada Primary School atau tingkat SD, pelajaran Bahasa Asing ditambah dengan Bahasa Cina dan India. Tahun 2003 lalu, pemerintah Malaysia kembali meningkatkan proses pembelajaran Bahasa Asing mereka dengan membuat kurikulum pelajaran Matematika, Biologi, Fisika dan Kimia dengan proses belajar mengajarnya harus menggunakan Bahasa Inggris.
Kata beberapa teman diskusi forum online dari Malaysia, peraturan tersebut sempat menuai kritik karena dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap siswa yang fasih berbahasa inggris dengan yang tidak. Hampir sama seperti tingkat SD di sekolah kita, Malaysia juga menerapkan sistem yang mirip dengan sistem 6 kelas kita, sesuai usia mereka dari usia 7 sampai 12 tahun. Pada tahap akhir Primary-School mereka juga menerapkan ujian akhir yang mereka sebut Ujian Pencapaian Sekolah Rendah (UPSR) untuk memasuki pendidikan tahapan selanjutnya yaitu Secondary-School atau gabungan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Secondary-School terdiri dari 5 tingkatan dan biasanya tiap tingkatan berlangsung selama satu tahun, setiap tingkatan diwajibkan melakukan Ujian untuk naik ketingkat selanjutnya dan akan tetap tinggal jika tidak lulus Ujian untuk mengulang tingkatannya. Ketika siswa telah berada di tingkatan 3, mereka harus mengambil Ujian yang mereka sebut Penilaian Menengah Rendah (PMR) hampir sama dengan yang kita lakukan pada siswa kelas 3 SMP untuk Ujian Akhir mereka. Hanya saja jika lulus ujian, siswa Malaysia masuk ketingkatan 4 disekolah yang sama. Pada tahap tersebut mereka harus memilih dua jalur pelajaran apakah Sains atau Seni, pelajaran tersebut diambil selama 2 tingkatan dengan waktu 1 tahun ditiap tingkatan. Sedangkan siswa SMA kita, mengambil jalur IPA atau IPS dan belajar selama 3 tingkatan dengan waktu 1 tahun untuk tiap tingkatan. Untuk lulus dari Secondary-School, pada tingkat 5 mereka diwajibkan mengambil Sijil Pelajaran Malaysia (SPM) sama seperti siswa kita kelas 3 SMA yang harus mengikuti Ujian Akhir Negeri untuk lulus SMA.

Namun SPM ternyata lebih kompleks daripada UAN kita, karena SPM berdasarkan pendidikan peninggalan penjajah Inggris, sehingga ketika peserta diskusi forum online menjelaskan model sistemnya, saya benar-benar tidak mengerti karena terjadi perubahan-perubahan sistem pendidikan untuk SPM yang banyak sekali, dari tahun 2003 sampai tahun 2006. Pada awal perkembangan sistem pendidikan Malaysia pasca Kemerdekaan mereka, dikatakan bahwa lulusan SPM saat itu adalah orang-orang yang ahli debat, seniman drama, olahragawan bahkan Kepanduan atau Pramuka. Sedangkan lulusan SPM sekarang sama sekali tidak mengerti berdebat, tidak bisa memahami tulisan kaki sebuah jurnal, bahkan tulisan tangan mereka buruk sekali. Semua kesalahan tersebut terletak pada banyaknya standar kelulusan SPM yang harus di ikuti padahal isinya hanya mengejar nilai, bukan membentuk karakter seseorang menjadi lebih ahli. Mungkin sama seperti sistem pendidikan kita, siswa kita hanya dikejar-kejar standar kelulusan yang tinggi tanpa memperhatikan pembentukan atau kaderisasi jiwa, pikiran dan moral mereka.

Ekstrakulikuler diwajibkan kepada siswa Secondary-School saja dan minimal harus mengambil dua cabang ekstrakulikuler yang terdiri dari empat kategori; Kelompok Intra, Seni Pertunjukan, Olahraga dan Klub Sosial. Setiap kompetisi dan pertunjukkan dilaksanakan dengan terjadwal sekali. Setelah lulus di tingkat Secondary-School, siswa Malaysia bisa langsung melanjutkan pendidikan mereka ke sekolah tinggi atau universitas.

Perhatian pemerintah Malaysia terhadap masalah pendidikan memang sangat ketat dan sistematis, tenaga pengajar saja harus dimasukkan dahulu ke universitas khusus bagi Guru. Dan jangan ditanya tentang gaji para guru di Malaysia beserta tunjangan-tunjangannya, sangat jauh lebih besar dibandingkan gaji guru PNS di Indonesia. Ketatnya perhatian pemerintah Malaysia terhadap sistem pendidikan mereka dapat diukur dari tidak hanya dalam pembangunan fisik pendidikan mereka saja, tetapi dari banyaknya perubahan-perubahan sistem yang mereka lakukan, dan perubahan tersebut selalu berdampak positif bagi manajemen sistem pendidikan mereka juga.

http://www.blogcatalog.com

PENGALAMAN OBSERVASI DI ELEMENTRY SCHOOL DI COLUMBUS � USA



Observasi ke sekolah sekolah di Amerika adalah merupakan salah satu kegiatan dan pengalaman yang sangat menarik bagi kita yang mengikuti program Sandwich di OHIO STATE UNIVERSITY- USA, karena semua mahasiswa Quality Assurance/ School leadership dari Indonesia berlatar belakang guru, Kepala Sekolah, Pengawas ( pendidikan).

Ada 9 sekolah yang kita kunjungi disini terdiri dari Kinder Garden (TK), Elementry School ( SD), Middle School ( SMP), High School (SMA). Di sekolah kita melalukan observasi tentang semua component yang ada di sekolah, mulai dari SDM, fasilitas, management sekolah, wawancara dengan Kepala sekolah dan wakil, guru mata pelajaran, konseling, pegawai, student dan orang tua siswa/ komite, pengawas dan melihat secara lansung proses pembelajaran semua mata pelajaran ( Math, science, language&art, Social, music, sport,) dan kegiatan ekstra kurikuler.

Pada kesempatan ini saya akan menulis gambaran tentang sekolah dasar (Elementry school) di luar negeri, khususnya USA. Sekolah Dasar disini, terintegrasi satu atap dengan TK, Sekolah Dasar mulai dari Pre school (TK) satu tahun , kemudian masuk grade 1 sampai dengan grade 5, jadi tetap juga 6 tahun .

Melihat proses belajar mengajar di SD memang sangat menarik, karena sangat jauh berbeda dengan Sekolah Dasar di Negara kita Indonesia. Pertama dari Fasilitas, Fasilitas disekolah dasar disini sangat lengkap, setiap kelas dilengkapi dengan Komputer (5 bh) untuk siswa, Labtop untuk guru, Infocus, OHP. TV, pustaka kecil yang lengkap dengan buku buku sumber yang dipakai dalam , Locker, Meja belajar dan kursi yang didesain dengan baik sehingga ruang tidak terlalu padat, didepan papan tulis terbentang karpet kecil, yang digunakan sewaktu guru menyajikan materi/ menanamkan konsep, siswa boleh duduk dikarpet, sehingga betul betul bisa membuat anak enjoy dalam belajar(enjoyful learning). Jumlah siswa memang terbatas 20 atau 22 dalam satu kelas. Dengan sistim moving kelas yaitu siswa yang pindah kelas setiap pertukaran mata pelajaran, guru tetap berada dikelas masing masing, misalnya guru matematik akan berda selalu di kelas tersebut, jadi mereka tidak punya kantor majelis guru, kantor guru berada dikelas masing masing.

Guru disini berfungsi sebagai fasilitator, setiap materi yang akan dipelajari hari besok akan diberi tugas oleh guru hari ini , setiap hari tugas tersebut sudah ditulis dipapan. Anak anak tinggal mencatat apa yang harus dikerjakannya dirumah, tugasnya bisa berupa bacaan, menjawab pertanyaan, mengerjakan latihan, mencari di internet sesuai dengan materi yang akan diajar pada pertemuan berikutnya, sehingga anak harus membaca dan belajar dirumah sebelum pelajaran diajarkan. Disini konsep inquiry atau anak menemukan sendiri ditanamkan pada anak. Pada pertemuan besoknya guru akan mengumpulkan tugasnya duluan. Kemudian didiskusikan bersama dan dibahas lagi .Kegiatan pembelajaran dikelas seperti membuat latihan dan tugas tugas , diberikan dalam bentuk kerja kelompok dan individu. Begitulah pelaksanaan pembelajaran untuk semua mata pelajaran pokok seperti Matematika, Science, Bahasa, IPS disekolah sekolah dasar.

Bagaimana kalau oleh siswa yang tidak mengerjakan tugas/ belajar yang diberikan kemaren? Siswa yang seperti ini akan disuruh keluar dan mengerjakan tugasnya dipustaka . Begitu juga untuk anak yang agak lemah, guru akan memberi tambahan belajar diluar jam pelajaran secara gratis. Jadi disini anak anak memang belajar secara tuntas. Tidak ada istilah private lesson ( Les) mata pelajaran bagi anak sekolah disini, karena guru betul betul bertangung jawab untuk keberhasilan anak didiknya.

Point yang paling menarik dan berkesan lagi adalah, setiap tugas atau hasil karya siswa, selalu di pajangkan di dinding/tembok kelas atau pun diluar kelas siswa, apapun bentuknya, baik atau jelek semuanya harus di pajangkan, untuk memotivasi dan evaluasi diri sendiri (self evaluation).

Kelebihan anak anak SD disini adalah , (1) Rajin Membaca, (2) Bisa menggunakan high technology, (3,) Disiplin tinggi, (4) kreativitas tinggi, (5) Resfect (hormat) dengan siapa saja, (6) Percaya diri, Jujur, sportif

Kelebihan guru : (1) Rajin membaca ( banyak buku referensi) , (2) bisa menggunakan high technology, (3) Kreativitas tinggi, (4) metode yang bervariasi

Sumber : http://www.diknas-padang.org

7 KIAT SUKSES SATU TAHUN AJARAN BAGI GURU



Agar sukses di satu tahun ajaran, guru perlu melakukan persiapan. Banyak sekolah yang mewajibkan guru nya masuk 3 hari atau bahkan lebih saat siswa nya masih libur panjang. Semuanya agar saat siswa masuk di hari pertama, semuanya siap dan terencana, baik kelas secara fisik atau administrasi yang sifatnya menjadi `pegangan' selama satu tahun penuh.



Berikut ini saya ingin berbagi mengenai hal apa saja yang mungkin bisa menjadi kiat agar sukses satu tahun ajaran.

1. menyiapkan sebuah folder khusus yang berisi nya adalah semua `paper work' atau pekerjaan yang bersifat keadministrasian dan ditulis dikertas. Isinya antara lain, visi misi sekolah, nama siswa, rencana pembelajaran dari hari ke hari, dokumen kurikulum serta hal lain yang memudahkan anda menjalankan administrasi satu tahun ajaran penuh.

2. menyepakati peraturan dan konsekuensi di kelas, latih terus di dua minggu pertama sampai satu bulan di tahun ajaran baru. Dijamin anda tidak akan bermasalah dengan perilaku siswa di kelas.

3. Menyiapkan `template' yang berisi nama anak dan kolom yang kosong disebelahnya, untuk bisa memudahkan anda menggunakannya saat menilai siswa atau bahkan hanya untuk mengecek kelengkapan sesuatu yang perlu dibawa siswa.

4. Siapkan games atau permainan yang bisa dimainkan saat siswa jenuh atau butuh penyegaran. 10 permainan saja tidak usah banyak-banyak. Permainan tadi bisa anda lakukan satu tahun penuh.

5. Lakukan pemetaan materi pembelajaran satu tahun penuh (atau tema jika anda menggunakan pendekatan `tematik'). Mulai sekarang lepaskan ketergantungan pada buku paket. Jadikan itu hanya menjadi salah satu rujukan saja, artinya jangan kemudian buku paket mendominasi alur pembelajaran dan pengajaran kita di kelas. Karena anda yang mengajar dikelas maka anda yang pegang kendali. Jika anda melakukan pemetaan, menjadi mudah bagi anda untuk menentukan kapan membagi hal yang sifat nya rutin seperti portfolio atau melakukan kegiatan lain yang ada hubungannya dengan pembelajaran seperti tes dan lain sebagainya.

6. Menyiapkan arus atau penataan informasi, bagaimana siswa tahu dan mengerti jika ada pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Bagaimana memberitahu orang tua mengenai sebuah informasi yang penting. Hal yang tidak kalah penting adalah menyiapkan fisik kelas, bagaimana individu yang ada didalamnya berinteraksi, bagaimana kelas di tata serta hal lain yang memudahkan tercapainya tujuan pembelajaran.

7. Lakukan refleksi minimal seminggu sekali atau sehari sekali. Anda bisa menulis apa saja mengenai pembelajaran yang anda lakukan selama seminggu atau pada hari itu. Ditulis dalam sehelai kertas, walau beberapa kalimat, akan bisa membuat anda menjadi guru yang lebih baik.
Beberapa tips di atas adalah gambaran dari betapa sejatinya guru yang baik, melakukan semuanya secara terencana sambil terus memperbaharui kualitas diri.

Jika anda sudah punya perencanaan satu tahun penuh saya jamin anda makin punya waktu untuk hal yang lain yang merupakan hobi atau bisnis sampingan anda, atau menulis buku barangkali? Seperti yang dilakukan Pak Wijaya Kusumah lewat buku `Penelitian Tindakan Kelas' nya, atau anda punya tips sukses tahun tahun ajaran penuh yang lain dan berharga yang bisa dibagi melalui forum ini? saya persilahkan

Terima kasih
Agus Sampurno
http://gurukreatif. wordpress. com/